Diberdayakan oleh Blogger.
.

The Untold Love Story – my short story haha

Minggu,
26
Februari



Aku “si kecil” sally. Yahh orang-orang menyebutku begitu. Aku masih kelas dua SMA. Aku memiliki banyak teman, tapi entah kenapa….aku merasa sepi. Aku bisa tertawa didepan mereka, tapi hatiku tidak sepenuhnya gembira. Entahlah, aku seperti harus menjadi orang lain saat bersama mereka. Kadang ingin rasanya lari dari kenyataan. Tapi, apa yang bisa aku lakukan?
“lly…sally!!”
“tasya? ada apa?” ini adalah Tasya, salah satu teman sekelasku.
“kok bengong? kamu ngapain? Kamu nggak pulang?”
“eh…iya, aku dari toilet, sebentar lagi aku pulang kok. Kamu sediri kenapa belum pulang?”
“hmmm gini sall…aku boleh minta tolong nggak sama kamu?”
“boleh..minta tolong apa?”
“aku kan hari ini piket, tadi aku disuruh pak Aldric buat ngambil KBBI di perpus, tapi aku lagi buru-buru sekarang, aku boleh minta tolong kamu ga?”
“iya, bisa kok. Aku ambil sekarang ya?”
“bener nih sall? Huwaaahhh makasih banget yaaaa”
Hal ini sudah terbiasa terjadi padaku. Mungkin bisa dibilang aku biasa “dimanfaatkan”. Tapi aku tak bisa menolak. Kupikir, orang-orang pasti akan membenciku jika aku menolak. Akibatnya aku mungkin tidak akan memiliki teman. Aku tidak mau itu.
Koridor sekolah sudah mulai sepi. Ah tapi tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan yang namanya “sepi”. Tapi tunggu, seperti ada sebuah suara. Suara apa? Piano? Ah benar. Suara ini datang dari ruang musik.
Aku melangkah perlahan mendekati ruang musik, ingin mendengar lebih jelas. Indah sekali. Membuatku merasa nyaman. Suaranya sangat menenangkan. Sungguh indah. Lagu apa ini? Ah bukan, yang lebih penting siapa yang memainkannya?
Aku mencoba melihat melaui kaca pintu. Tapi sial, ini agak sulit bagiku, ku coba berjinjit sampai maksimum. Tetap saja, kacanya terlalu tinggi untukku yang pendek ini. Tapi aku sungguh penasaran. Ah, Loncat saja!
JDUK!
“AOWW!” dasar bodoh, kenapa kepalaku pakai terbentur kaca segala? Oh tidak! Permainan pianonya berhenti, apakah dia mendengar suaraku tadi? Mati aku. Mati aku. Ma…
“Kau siapa” pintu terbuka. Ya…aku benar-benar akan mati sekarang. Aku pasti dikira orang aneh atau semacamnya.
“err…kau baik-baik saja?”
Tanpa sadar dari tadi aku tertunduk sambil memegangi dahiku. Akhirnya, kuberanikan diri untuk melihatnya. Aku harus agak menengadahkan kepalaku, dia tinggi sekali. Tapi, siapa orang ini? sepertinya aku belum pernah melihatnya sebelum ini.
“Namaku Sally. Dari kelas 2B. Kamu? Sepertinya aku belum pernah melihatmu sebelumnya”
“oh hai Sally, aku Azka. Dari kelas 2A. Hm..yah aku anak baru disini. Aku baru pindah dari Bandung” dia memperkenalkan diri dengan tersenyum. Dari senyumnya, aku tau, dia orang yang baik.
“oh ya, lagu apa yang kau mainkan tadi? Indah sekali..”
“the untold love story. Kau menyukainya?”
“tentu saja! Aku suka, suka sekali!”
“ffftt….hahhahahaha” dia seperti mencoba menahan tawa, tapi tawanya lepas juga.
“hey, apa yang kamu tertawakan?”
“tidak…hanya saja…kamu terlalu bersemangat mengatakannya!”
“tapi…aku memang sangat menyukainya”
“aku tahu. Terlihat diwajahmu.” Apa maksudnya? Dia mengatakan itu sambil tersenyum. ah aku jadi malu sekali. Haruskah aku pergi sekarang? Apa yang harus kukatakan? Kenapa dia diam saja?
“apakah kau mau mendengarnya lagi?” katanya tiba-tiba.
“hah?”
“haha apakah kamu mau aku memainkan lagu itu sekali lagi?”
“aku mau!”
Kami berdua pun masuk ke dalam ruang musik. Dia duduk di kursi yang menghadap ke piano. Aku berdiri disampingnya.
“apa kamu tidak pegal berdiri serperti itu? Duduk disini saja.” Dia menepuk-nepuk sisi lain kursi yang didudukinya. Agak ragu, akhirnya aku duduk disampingnya.
Dia mulai memainkan lagu itu. Terlihat sangat menikmatinya. Jemarinya bermain dengan lincah. Aku menutup mataku, mencoba mendalami lagunya. Nada yang membuatku nyaman. Merasa hidup. Indah sekali. Air mataku jatuh perlahan.
Tanpa sadar lagu telah berhenti. Kubuka mataku, kulihat Azka.
“sally…lagunya sudah selesai” oh tidak, ternyata Azka melihatku dari tadi. Cepat-cepat ku hapus air mata di pipiku. malunyaaaa.
“errr….baiklah Azka, aku pulang dulu. Terimakasih sudah memainkan piano untukku.”
Tanpa menunggu jawabannya, aku keluar. Tunggu dulu, aku lupa mengambil KBBI di perpus!!
Keesokan harinya.
Hari ini aku ada pelajaran olahraga. Setelah berganti pakaian olahraga di ruang ganti, aku mengambil jalan memutar kelapangan. Aku ingin melewati kelas Azka. Yahhh ini memang agak bodoh, tapi aku suka melihat senyumnya. Ah! Sebentar lagi sampai didepan kelasnya.
“Sally!” seperti ada yang memanggilku dari belakang.
“Rena? Ada apa?”
“hmm Sall kamu bisa tolong ambilin bola volly di gudang nggak? Aku disuruh pak Alex,tapi aku mau ke toilet nih…buru-buru. Tolong yah? Plissss”
“oh..oke. aku yang ambil deh ntar hehe”
“sip! Kamu emang baik sall!” dan dia pun pergi setelah mengatakan itu. Bahkantanpa mengucapkan terimakasih. sayang sekali, padahal aku ingin melewati kelas Azka. Tapi yasudahlah, apa boleh buat?
Aku membalikkan tubuh. Sebelum ke gudang aku ingin melihat kelas Azka. Tapi sepertinya di jendela kelasnya ada seseorang. Bukankah itu….?
Azka.
“kau…seperti menahan diri?” ucapnya.Sudah kuduga, dia mendengar pembicaraanku dengan Rena.
“ah…um…masa?”
“kelihatannya begitu”
“hmm..aku baik-baik saja kok. Sudah ya” aku segera berlari meninggalkannya.
Ahhhh! Bagaimana pendapatnya? Pasti dia berpikir aku orang yang sangat bodoh. Bodoh…dan lemah.
***
Lagi-lagi, aku dimanfaatkan. Haaaaahhh aku harus mengembalikan globe ke perpustakaan meskipun ini bukan tugasku. Tapi aku masih belum bisa menolak. Aku memang bodoh.
Aku seperti mendengar suara musik . “tunggu….ini..?”
Aku berlari ke ruang musik. Pintunya tidak tertutup rapat, syukurlah aku tidak harus meloncat seperti kemarin. Dan sesuai dugaanku, ada Azka disana.
“Azka.” Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku.
“oh…hai Sally!” dia menghentikan permainannya dan melihat kearahku. Dia tersenyum.
“kau tidak istirahat?”
“aku tidak lapar. Kamu sendiri?”
“aku baru kembali dari perpus, mengembalikan globe”
“ohh begitu..kamu tidak ke kantin?”
“err…tidak. Aku sudah makan” aku berbohong. Sebenarnya aku belum makan, tapi aku ingin lebih lama disini. Untuk melihatnya.
“Sally, apakah kamu bisa bermain piano?”
“hmm…aku hanya bisa yang dasarnya saja, karena ada pelajaran musik. Tapi aku tidak bisa semahir kamu”
“haha itu tidak masalah. Lagu apa yang bisa kamu mainkan?”
“ehh? Memangnya kenapa?”
“ayo kita mainkan bersama! Jadi? Lagu apa?”
“em..twinkle twinkle little star”
“baiklah…ayo kita mainkan”
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are.
Up above the world so high,
Like a diamond in the sky.
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are.
When the blazing sun is gone,
When there’s nothing he shines upon,
Then you show your little light,
Twinkle, twinkle, through the night.
Twinkle, twinkle, little star,
How I wonder what you are!
Berada di sampingnya, mendengarkan suaranya bernyanyi, melihat wajahnya yang tersenyum dari samping, merasakan bermain piano berdua dengannya, tertawa bersamanya, aku sadar…….aku telah menyukainya.
“Sally.” Oh tuhan! Dia melihatku memperhatikannya. Semoga dia tidak tau apa yang aku pikirkan.
“hm ya?”
“terkadang…kamu harus mengatakan apa yang kau pikirkan.”
OH TIDAK! Apa dia bisa membaca pikiranku? Se-transparant itukah kepalaku? Aku harus menjawab apa? Bagaimana iniiiiiiii????
“mak…maksudmu?” yep. Pura-pura tidak tahu adalah jalan terbaik.
“kamu sering menahan diri. Aku sering melihatmu mengerjakan sesuatu yang tidak seharusnya kau kerjakan, dan sering melihatmu tertawa tapi tidak lepas.Apa kamu rela begini terus?”
Meskipun lega karena ternyata bukan hal yang tadi aku pikirkan yang dibicarakannya, aku tetap merasa tidak nyaman. Canggung karena dia mengetahui kelemahanku.
“aku…tidak begitu. Aku senang kok!”
“benarkah?” dia bertanya seperti itu sambil melihat langsung kemataku. Aku tidak bisa berbohong padanya. Benar benar tidak bisa.
“a…aku takut.”
“takut? Takut karena apa?”
“aku takut, kalau menolak, mereka pasti akan mengucilkanku. Aku enggak mau seperti itu.”
Aku berusaha menahan diri untuk tidak menangis. Aku tidak boleh menangis. Tidak boleh. Cukup sekali dia melihatku menangis, aku harus kuat.
“hei Sally…kau harus…sedikit lebih menghargai perasaanmu sendiri. Kau tidak harus berpura-pura kuat. Cobalah katakan perasaanmu. Katakanlah…apa yang kamu pikirkan.”
“……”
Aku tidak tau harus berkata apa. Dengan kata-katanya yang singkat itu, dia bisa membuatku merasa lebih kuat, merasa bisa berubah, dan merasa…dimengerti.
Dia lalu tersenyum. Senyum yang selalu membuatku kuat dan berkata, “janjilah kamu akan berubah” dan mengajukan jari kelingkingnya. Seakan mengerti dengan maksudnya aku mengaitkan jari kelingkingku ke miliknya. Tangannya sangat hangat. Dengan jarak sedekat ini benar-benar membuatku bedebar. Aku harap hujan diluar tidak berhenti agar Azka tidak bisa mendengar suara debaran jantungku.
Azka, apa kau juga berdebar? Seperti yang kurasakan?
***
“sally! Bisa tolong kembalikan alat praktikkum ini ke lab sains?”
“emmm…”
Bagaimana ini? Aku belum pernah berkata “tidak” sebelumnya, tapi aku sudah berjanji pada Azka untuk mulai berubah. Akankah mereka mengucilkanku jika aku tidak mau melaksanakan apa yang mereka pinta? Azkaaaaa! Tolong aku…
“sally? Bisa engggak?” Rani, yang sedang berbicara padaku sudah mulai kesal.
Aku tidak berani melawannya, dia adalah perempuan yang paling berkuasa dikelas.
“em…bisa kok” maafkan aku Azka. Aku melanggar janji kita untuk sekali ini saja.
“benarkah? Terimakasiiiihhhh!” dengan senyum sumringah Rani memberikan pelukan basa basinya padaku lalu pergi. Haaaahh memang susah sekali untuk berubah.
“kau belum berubah.” Suara ini….
“Azka?”
“kenapa kau tidak menolaknya?” nada suaranya tidak tinggi, tidak juga rendah. Datar. Tapi terdengar sangat tegas dan menyaratkan kekecewaan.
“………” aku tidak tau harus memberi jawaban apa.
“kenapa?”
“hmm aku memang sedang tidak ada kerjaan kok hehe”. kupaksakan untuk tersenyum. Aku tidak mau membuatnya marah. Demi tuhan….. menyakitkan melihat ekspresinya yang dingin seperti ini.
“oh ya?” dia pergi. Hanya itu? Dia berkata seperti itu dan pergi begitu saja.
Azka….jangan pergi. Aku tak mau sendiri lagi. Jangan tinggalkan aku. Kumohon…
***
Hari ini aku tak ingin ke ruang musik tempat Azka biasa bermain piano.aku takut dia masih marah padaku. Aku tidak mau muncul dihadapannya dulu. Tapi aku bosan. Aku benar-benar uring-uringan seharian ini.
“sally! Tolong gantikan aku piket ya? Aku buru-buru nih ditunggu pacarku”
Ini dia saat yang paling aku benci. Mereka benar-bemar memanfaatkan kelemahanku. Tapi aku harus berubah! Kali ini aku harus bisa berkata “tidak”.
“emm.. maaf tasya, aku…..aku nggak bisa.” Dengan susah payah akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulutku.
“Hah? Kenapa?” dia tampak heran sekaligus terkejut.Aduuuuhh…kenapa ya? Aku harus memberi alasan apa? Ayo berpikir Sally…Berpikir!
“adu…duh…aku sakit perut nih Tasya. Sepertinya aku harus segera pulang. Maaf ya aku nggak bisa bantu kamu”. Sambil memegangi perut aku pura-pura merintih kesakitan. Hey, kenapa dia diam saja? Apa actingku tidak meyakinkan?
“yaaaahhhhh, Kok gituuu? Padahal aku buru-buru nih!”
“ma..maaf ya”. Akupun buru-buru berlalu sambil tetap melanjutkan acting ku. Selagi dia belum menyadari aku berbohong.
Lho? Kenapa aku malah berjalan keruang musik bukan ke gerbang sekolah? Ah mungkin karena aku terbiasa berjalan kesini setiap pulang sekolah. Tapi aku sedang tidak ingin muncul dihadapannya.
Tapi ada sesuatu yang tidak bisa membuatku berpaling dan pergi. Alunan musik ini. Alunan lagu yang sangat kukenal. Bahkan kudengarkan setiap malam sebelum tidurku. The untold love story.
Akupun melangkahkan kakiku mendekati ruang musik yang terbuka. Kenapa pintunya terbuka? Biasanya tertutup. Aku mendekati pintu.
DEG!
Aku melihat pemandangan yang sungguh indah. Mungkin ini adalah pemandangan terindah yang pernah aku lihat seumur hidupku. Seperti melihat lukisan yang bergerak.
Tepat dihadapanku, aku melihat Azka yang bermain piano sambil memejamkan mata. Rambutnya yang lebat tertiup hembusan angin dari jendela yang dibiarkan terbuka. Cahaya matahari senja berwarna oranye terbias ke setiap sudut ruangan. Ya Tuhan….aku benar-benar menyukainya.
“dari mana saja kau? Aku sudah menunggumu.”
Tanpa kusadari aku telah masuk ke dalam lamunanku sendiri. Azka ternyata sudah menyadari kehadiranku.
“kau…tidak marah?”
“marah? Untuk apa aku marah?”
“emm…kemarin…soal yang itu…”
“sudahlah. Aku enggak marah kok”
“benarkah? Tapi kemarin kamu sangat dingin padaku.”
“itu kan kemarin. Sekarang kamu kan sudah berubah. Lagipula aku kemarinbukan marah, hanya sedikit kecewa.”
Ahhhhh! Dia ini! Aku pikir dia benar-benar padaku. Aku sudah uring-uringan setengah mati tau?!
“Hahahhaha jangan pasang muka seperti itu donggg..maaf ya?”
“iya. Gapapa”
“dih ngambek. Jangan ngambek lahh. Masa gitu aja ngambek, malu ih sama umur.” Dia mengatakan itu dengan wajah tanpa dosa dan tertawa.
“siapa yang ngambek? Biasa aja ih.”
“kalau gitu senyum doonggg”
Haaah Azka ini. Benar-benar deh. Tunggu, dari mana dia tau aku sudah berubah?
“kamu tau dari mana aku sudah berubah ka?”
“aku melihatmu tadi, saat menolak Tasya”
“ohhhh…kau seperti hantu ya..ada dimana-mana.”
“enak saja! Mana ada hantu yang setampan aku ini?”
“aku pulang deh”
“Hahahhahaha!”
***
Pagi yang indah. Baru kali ini aku merasakan pagi seindah ini. Langit yang biru cerah, sinar matahari yang menyenangkan, dan semilir angin yang menyejukkan. Menggerakkan daun-daun dari pohon rindang yang mengelilingi halaman sekolah. Aku merasa ringan. Seperti tidak ada bebanlagi yang perlu aku khawatirkan.
“pagi teman-teman!” sapaku saat baru memasuki kelasku.
“……” tidak ada yang menjawab.
Kok nggak ada yang menjawab? Tumben sekali. Kenapa mereka memandangiku seolah olah aku orang asing? Apa ada yang salah denganku hari ini? Kulihat seragamku, baik-baik saja. Normal seperti biasanya. Ah mungkin hanya pikiranku.
Lho? Kenapa Tasya menangis?
“Tasya? Ada apa?”
“ini semua gara-gara kamu!” Tasya berkata seperti itu dengan sangat keras sampai teman-teman jadi memperhatikan kami. Aku tidak mengerti.
“iya benar, ini semua salah kamu. Coba kalau kamu mau menggatikannya piket kemarin, dia pasti tidak akan bertengkar dengan pacarnya.” Ujar Shinta.
***
“kemarin dia ingin bertemu dengan pacarnya. Tapi karena kamu tidak mau menggantikannya piket, pacarnya menunggunya di depan taman kota sampai sore. Karena kesal akhirnya pacarnya pulang.kamu bilang pada Tasya bahwa kamu sakit perut, tapi ada yang melihatmu di ruang musik bersama Azka.”
Penjelasan Shinta terus terngiang dikepalaku. Ya Tuhan… sekarang aku harus bagaimana? Apa yang selama ini aku takutkan benar-benar terjadi. Teman-teman akan mengucilkanku. Azka, aku harus bagaimana? aku merasa benar-benar rapuh saat ini.
“cengeng”. Tiba-tiba Azka sudah ada di hadapanku. Kenapa dia bisa tau aku di perpus? Padahal tidak ada yang tau aku di sini. Aku malu sekali, lagi-lagi dia melihatku menangis.
“apa yang kamu pikirkan?” Dia duduk dihadapanku. Aku tau dia cemas. Tapi aku tidak mau membuatnya repot. Jadi aku hanya menggeleng.
“oh ya. Kau bisa sendirian kan.” Suanya datar seperti dulu. Dia berkata dingin seperti itu lalu beranjak ingin pergi. Tidak. Aku tidak mau dia marah seperti kemarin. Aku tidak mau dia pergi. Aku ingin…
“temani aku.” Setelah aku berkata seperti itu dia menghentikan langkahnya lalu kembali dan memelukku. Dengan terbata-bata, kuceritakan apa yang terjadi.
“tenanglah. Aku akan selalu membantumu.” Dia berkata seperti itu dan tersenyum. Dia benar-benar menemaniku sampai aku merasa tenang.
***
Hari demi hari berlalu. Teman-teman masih tidak mau bicara denganku. Tapi aku tidak sepenuhnya kesepian. Azka menemaniku ke kantin, mengantarku pulang, dan menghabiskan waktu istirahat bersama di ruang musik. Tapi tetap saja, aku merasa kesepian jika Azka tidak ada. Akhir-akhir ini dia sibuk berlatih untuk kompetisi piano tingkat nasional.
“Sally”
“Tasya?” ada apa ini? Kenapa Tasya tiba-tiba berbicara denganku?
“aku…minta maaf”. Hah? Apa aku tidak salah dengar?
Melihat tidak ada reaksi dariku, Tasya berkata lagi.
“aku menyadari kalau aku memang salah. Seharusnya aku tidak menyalahkanmu. Lagipula aku sudah berbaikan dengan pacarku. Aku merasa tidak enak, karena masalahku sendiri teman-teman memusuhimu. Maafkan aku Sally”
“tidak kumaafkan”
“ta..tapi aku..”
“Hahahaha aku hanya bercanda, Tasya! Sudahlah lupakan saja, jadi kita berteman lagi kan?”
“kamu ini! Aku sudah takut setengah mati tau! Tentu kita berteman lagi! Azka sudah menjelaskan pada kami kamu yang sebenarnya, dan kami mengerti. Maafkan kami yaaaa”
“wahhh apa yang dia bicarakan? Pasti hal-hal baik tentang aku ya?”
“dia bilang kamu cengeng, suka mengintip, aneh, cepet ngambek”
“ihh apaan tuh!”
“Hahahaha! ayo kita kembali ke kelas”
***
Tidak terasa sudah tiba hari kelulusanku di SMA. Hari ini Azka akan memainkan piano sebagai pembuka upacara kelulusan.
“Sally!”
“Azka? Bagaimana? Kau sudah siap untuk penampilanmu nanti? Lagu apa yang akan kamu mainkan?”
“kalau nanya satu-satu non!”
“hehehehe jadi?”
“aku sudah siap. Aku akan memainkan the untold love story.”
“kenapa lagu itu?”
“untukmu, karena kamu menyukainya.”
“hahaha aku bisa ge-er nih, emang aku pacar kamu apa? haha” aku berusaha terlihat bercanda, meskipun dalam hati sebenarnya aku berharap.
“loh? Emang bukan ya?” dia berkata seperti itu dengan polosnya.
Hah?
“yah aku ngga dianggep. Aku kira kita pacaran” masih dengan wajah polos.
Hah?!
“eh kok kamu diem aja sih? Kita pacaran yuk?”
HAH???!
“kok kamu masih diem sih? Aku nembakkamu nih. Gamau ya? Yahh sayang banget, padahal tadinya setelah upacara kelulusan aku mau ngajak kamu kepantai, ke Dufan, ke Taman kota, ke….”
“AKU MAU.”
“Hahahahhaha aku tau kok. Terlihat diwajahmu.”
Uuuuhhh lagi-lagi dia mengerjaiku. Tapi nggak apa-apalah. Inilah Azka yang aku suka. Azka yang menemaniku. Azka yang ada di pikiranku. Azka yang membuatku menjadi diriku yang sebenarnya.
THE END
CREATED BY ME :D

0 komentar:

Posting Komentar

welcome to my ordinary blog! :D

well, let's see many things that i like ... :)
leave comment pleaseeeeee =3
.

  © NOME DO SEU BLOG

Design by Emporium Digital